Sabtu, 08 Oktober 2011

makalah undang-undang pemotongan hewan

I. PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Penduduk Indonesia sekarang ini mulai sadar akan kebutuhan gizi dalam makanan yang dikonsumsi, terutama gizi yang berasal dari hewani atau daging. Hal ini menyebabkan permintaan akan daging semakin terus meningkat. Permintaan akan daging yang semakin hari semakin meningkat ini membuat beberapa Rumah Potong Hewan (RPH) kurang memperhatikan aspek kesehatan, agama dan kesejahteraan hewan yang telah sesuai dengan ketentuan badan kesehatan hewan dunia (OIE) sehingga kasus ini menjadi salah satu permasalahan dalam pembangunan peternakan di Indonesia.
Adanya kasus penyiksaan terhadap sapi yang akan dipotong, disamping melanggar UU, tidak manusiawi, juga bertentangan dengan nilai agama. Oleh karena itu pemerintah harus serius mengontrol kualitas RPH agar memenuhi standar higienis, aman, kesmawet, dan animal welfare. Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet), RPH dan kesejahteraan hewan (animal welfare) sudah diatur di UU 6/1967 tentang Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan, UU 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, dan Peraturan Mentan 13/2010 tentang Persyaratan RPH Hewan Ruminansia dan Unit Penangan Daging (Meat Cutting Plant). Di pasal 66 UU 18/ 2009, misalnya, disebutkan bahwa pemotongan hewan yang dagingnya diedarkan harus dilakukan di RPH dan mengikuti cara penyembelihan yang memenuhi kaidah kesmavet dan animal welfare.




Dengan adanya rancangan Undang-Undang dan Kebijakan Pembangunan Peternakan akan berfungsi sebagai dasar hukum bagi penyelenggaraan pembangunan peternakan dan kesehatan hewan sehingga pembangunan peternakan khususnya dalam bidang pemotongan hewan bisa menjamin kesejahteraan bagi hewan ternak dan produk daging yang dihasilkan dari proses pemotongan terbukti ASUH ( Aman, Sehat, Umun dan Halal).























II. TINJAUAN PUSTAKA


Pemotongan dan pembunuhan hewan harus dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa sakit, rasa takut dan tertekan, penganiayaan dan penyalagunaan dan perlakuan terhadap hewan harus dihindari dari penyiksaan (Viva, 2011).
Produk peternakan asal hewan mempunyai sifat mudah rusak dan dapat bertindak sebagai sumber penularan penyakit dari hewan ke manusia. Untuk itu dalam merancang tata ruang RPH perlu diperhatikan untuk menghasilkan daging yang sehat dan tidak membahayakan manusia bila dikonsumsi sehingga harus memenuhi persyaratan kesehatan veteriner (Koswara, 1988).
Perancangan bangun RPH berkualitas sebaiknya sesuai dengan standar yang telah ditentukan dan sebaiknya sesuai dengan Instalasi Standar Internasional dan menjamin produk sehat dan halal. RPH dengan standar internasional biasanya dilengkapi dengan peralatan moderen dan canggih, rapi bersih dan sistematis, menunjang perkembangan ruangan dan modular sistem. Produk sehat dan halal dapat dijamin dengan RPH yang memiliki sarana untuk pemeriksaan kesehatan hewan potong, memiliki sarana menjaga kebersihan, dan mematuhi kode etik dan tata cara pemotongan hewan secara tepat. Selain itu juga harus bersahabat dengan alam, yaitu lokasi sebaiknya di luar kota dan jauh dari pemukiman dan memiliki saluran pembuangan dan pengolahan limbah yang sesuai dengan AMDAL (Lestari, 1993).
Penyembelihan hewan potong di Indonesia harus menggunakan metode secara Islam (Manual Kesmavet, 1992). Hewan yang disembelih harus memenuhi syarat dan rukun yang telah ditentukan menurut syariah. Penyembelihan dilaksanakan dengan memotong mari’ (kerongkongan), hulqum (jalan pernapasan) dan dua urat darah pada leher (Nuhriawangsa, 1999).

Hewan yang telah pingsan diangkat pada bagian kaki belakang dan digantung. Pisau pemotongan diletakkan 45 derajat pada bagian brisket (Smith et al., 1978), dilakukan penyembelihan oleh modin dan dilakukan bleeding, yaitu menusukan pisau pada leher kearah jantung (Soeparno, 1992). Posisi ternak yang menggantung menyebabkan darah keluar dengan sempurna (Blakely dan Bade, 1992).
























III. PEMBAHASAN


A. Rumah Potong Hewan
Dilihat dari mata rantai penyediaan daging di Indonesia, maka salah satu tahapan terpenting adalah penyembelihan hewan di RPH. Rumah pemotongan hewan (RPH) adalah kompleks bangunan dengan disain dan konstruksi khusus yang memenuhi persyaratatn teknis dan higiene tertentu, yang digunakan sebagai tempat memotong hewan potong bagi konsumsi masyarakat. Peraturan perundangan yang berkaitan persyaratan RPH di Indonesia telah diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 555/Kpts/TN.240/9/1986 tentang Syarat-Syarat Rumah Pemotongan Hewan dan Usaha Pemotongan. Selain diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 555/Kpts/TN.240/9/1986, RPH juga diatur dalam Rancangan Undang-Undang Peternakan dan kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab I Pasal 1 ayat 15 dan Bab VI Pasal 62.
Isi pasal-pasal tersebut antara lain:
1. UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab I Pasal 1 ayat 15.
Perusahaan peternakan adalah orang perorangan atau korporasi, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan alm wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mengelola usaha peternakan dengan kriteria dan skala tertentu.
2. UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab VI Pasal 62.
(1) Pemerintah daerah kabupaten/kota wajib memiliki rumah potong hewan yang memenuhi persyaratan teknis.
(2) Rumah potong hewan yang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diusahakan oleh setiap orang setelah memiliki izin usaha dari bupati/walikota.
(3) Usaha rumah potong hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan dibawah pengawasan dokter hewan berwenang di bidang pengawasan kesehatan masyarakat veteriner.

Gambar 1. Contoh RPH di Karawaci indonesia

RPH, di samping sebagai sarana produksi daging juga berfungsi sebagai instansi pelayanan masyarakat yaitu untuk menghasilkan komoditas daging yang sehat, aman dan halal (sah). Umumnya RPH merupakan instansi Pemerintah. Namun perusahaan swasta diizinkan mengoperasikan RPH khusus untuk kepentingan perusahaannya, asalkan memenuhi persyaratan teknis yang diperlukan dan sesuai dengan peraturan Pemerintah yang berlaku.
Pembangunan RPH harus memenuhi ketentuan atau standar lokasi, bangunan, sarana dan fasilitas teknis, sanitasi dan higiene, serta ketentuan lain yang berlaku. Sanitasi dan higiene menjadi persyaratan vital dalam bangunan, pengelolaan dan operasi RPH. Beberapa persyaratan RPH secara umum adalah merupakan tempat atau bangunan khusus untuk pemotongan hewan yang dilengkapi dengan atap, lantai dan dinding, memiliki tempat atau kandang untuk menampung hewan untuk diistirahatkan dan dilakukan pemeriksaan ante mortem sebelum pemotongan. Syarat penting lainnya memiliki persediaan air bersih yang cukup, cahaya yang cukup, meja atau alat penggantung daging agar daging tidak bersentuhan dengan lantai. Untuk menampung limbah hasil pemotongan diperlukan saluran pembuangan yang cukup baik, sehingga lantai tidak digenangi air buangan atau air bekas cucian.
Acuan tentang Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dan tatacara pemotongan yang baik dan halal di Indonesia sampai saat ini adalah Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6159-1999 tentang Rumah Pemotongan Hewan berisi beberapa persyaratan yang berkaitan dengan RPH termasuk persyaratan lokasi, sarana, bangunan dan tata letak sehingga keberadaan RPH tidak menimbulkan ganguan berupa polusi udara dan limbah buangan yang dihasilkan tidak mengganggu masyarakat.

B. Prosedur Pemotongan Hewan
Daging adalah salah satu pangan asal hewan yang mengandung zat gizi yang sangat baik untuk kesehatan dan pertumbuhan manusia, serta sangat baik sebagai media pertumbuhan mikroorganisme. Daging (segar) juga mengandung enzim-enzim yang dapat mengurai/memecah beberapa komponen gizi (protein, lemak) yang akhirnya menyebabkan pembusukan daging. Oleh sebab itu, daging dikategorikan sebagai pangan yang mudah rusak (perishable food).
Salah satu tahap yang sangat menentukan kualitas dan keamanan daging dalam mata rantai penyediaan daging adalah tahap di rumah pemotongan hewan (RPH). Di RPH ini hewan disembelih dan terjadi perubahan (konversi) dari otot (hewan hidup) ke daging, serta dapat terjadi pencemaran mikroorganisme terhadap daging, terutama pada tahap eviserasi (pengeluaran jeroan).





Penanganan hewan dan daging di RPH yang kurang baik dan tidak higienis akan berdampak terhadap kehalalan, mutu dan keamanan daging yang dihasilkan dan akan berdampak pada kesehatan masyarakat. Di dalam Undang-Undang Peternakan dan kesehatan Hewan Bab I Pasal 1 ayat 38 disebutkan bahwa Kesehatan masyarakat veteriner adalah segala urusan yang berhubungan dengan hewan produk hewan yang secara langsung atau tidak langsung memengaruhi kesehatan manusia. Oleh sebab itu, penerapan sistem jaminan mutu dan keamanan pangan di RPH sangatlah penting, atau dapat dikatakan pula sebagai penerapan sistem produk safety pada RPH. Aspek yang perlu diperhatikan dalam sistem tersebut adalah higiene, sanitasi, kehalalan, dan kesejahteraan hewan.
Sembelih atau pemnyembelihan hewan adalah suatu aktifitas, pekerjaan atau kegiatan menghilangkan nyawa hewan atau binatang dengan memakai alat bantu atau benda yang tajam ke arah urat leher saluran pernafasan dan pencernaan. Agar binatang yang disembelih halal dan boleh dimakan, penyembelihan hewan harus sesuai dengan aturan agama islam. Jika binatang yang mau disembelih masuk ke lubang yang sulit dijangkau maka diperbolehkan melukai bagian mana saja asalkan mematikan binatang tersebut sedangkan yang dimaksud dengan Prosedur Standar Operasi Pemotongan Sapi adalah alur proses untuk memproduksi daging sapi yang Aman, Sehat, Umum dan dan Halal (ASUH) baik menggunakan alat dan mesin peternakan yang modern ataupun yang tradisional seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab I Pasal 1 ayat 40 dan Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan Bab IV Bagian ketiga Pasal 24 ayat (1) yaitu:
1. Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab I Pasal 1 ayat 40 .
Alat dan mesin peternakan adalah semua peralatan yang digunakan berkaitan dengan kegiatan peternakan dan kesehatan hewan, baik yang dioperasikan dengan motor penggerak maupun tanpa motor penggerak.
2. Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan Bab IV Bagian ketiga Pasal 24 ayat (1)
(1). Pemerintah menetapkan jenis dan standar alat dan mesin peternakan yang peredarannya perlu diawasi.
Alat-alat benda tajam dan tumpul yang tidak diperbolehkan untuk penyembelihan / pemotongan hewan : gigi, kuku, tulang, listrik/disetrum, benda tumpul untuk memukul, panahan/busur dana anak panah, boomerang, sumpit, gada, palu, martil, dan lain-lain.

Gambar 2. Alat Pemotong Ternak Sapi Otomatis dan Modern
Pada proses pemotongan ternak di Indonesia harus benar-benar memperhatikan hukum-hukum agama Islam, karena ada kewajiban menjaga ketentraman batin masyarakat. Pada pelaksanaannya ada 2 cara yang digunakan di Indonesia, yaitu :
a). Tanpa “Pemingsanan”
Cara ini banyak dilakukan di Rumah-rumah Potong tradisional. Penyembelihan dengan cara ini ternak direbahkan secara paksa denganmenggunakkan tali temali yang diikatkan pada kaki-kaki ternak yangdihubungkan dengan ring-ring besi yang tertanam pada lantai Rumah Potong, dengan menarik tali-tali ini ternak akan rebah. Pada penyembelihandengan sistem ini diperlukan waktu kurang lebih 3 menit untuk mengikat dan merobohkan ternak. Pada saat ternak roboh akan menimbulkan rasa sakit karena ternak masih dalam keadaan sadar.
b). Dengan Pemingsanan
Di Rumah Potong Hewan yang besar dan modern, sebelum ternak dipotong terlebih dahulu dilakukan “pemingsanan”, maksudnya agar ternak tidak menderita dan aman bagi yang memotong.

Gambar 3. Cara Pemingsanan Ternak dengan Penembakan Pen

Gambar 4. Prosedur pelayanan pemotongan di RPH


Gambar 5. Pemotongan hewan secara tradisional dan secara modern

Pemotongan dilakukan pada ternak dalam keadaan posisi rebah, kepalanya diarahkan ke arah kiblat dan dengan menyebut nama Allah, ternak tersebut dipotong dengan menggunakan pisau yang tajam. Pemotongan dilakukan pada leher bagian bawah, sehingga tenggorokan, vena yugularis dan arteri carotis terpotong. Menurut Ressang (1962) hewan yang dipotong baru dianggap mati bila pergerakan-pergerakan anggota tubuhnya dan lain-lain bagian berhenti. Oleh karena itu setelah ternak tidak bergerak lagi leher dipotong dan kepala dipi-sahkan dari badan pada sendi Occipitoatlantis. Pada pemotongan tradisional, pemotongan dilakukan pada ternak yang masih sadar dan dengan cara seperti ini tidak selalu efektif untuk menimbulkan kematian dengan cepat, karena kematian baru terjadi setelah 3-4 menit. Dalam waktu tersebut merupakan penderitaan bagi ternak, dan tidak jarang ditemukan kasus bahwa dalam waktu tersebut ternak berontak dan bangkit setelah disembelih. Oleh karena itu pengikatan harus benarbenar baik dan kuat. Cara penyembelihan seperti ini dianggap kurang berperikemanusiaan.Waktu yang diperlukan secara keseluruhan lebih lama dibandingkan dengan cara pemotongan yang menggunakan pemingsanan. Dengan adanya perbedaan dalam cara penyembelihan tersebut, pihak australia menuduh Indonesia melakukan tindak kekerasan terhadap hewan yang akan dipotong padahal Indonesia mempunyai standar dan cara yang sudah ditetapkan menurut Islam dan Undang-Undang.
Undang-Undang yang mengatur dalam hal perlakuan terhadap ternak ini antara lain:
1. UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab I Pasal 1 ayat 42.
Kesejahteraan hewan adalah segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental hewan menurut ukuran perilaku alami hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk melindungi hewan dari perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap hewan yang damanfaatkan manusia.
2. UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab II Pasal 3 huruf a.
Pengaturan penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan bertujuan untuk:
a. Mengelola sumber daya hewan secara bermartabat, bertangung jawab, dan berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
3. UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab IV Bagian Kesatu Pasal 18 ayat (1) dan (2).
(1) Dalam rangka mencukupi ketersediaan bibit, ternak ruminansia betina produktif diseleksi untuk pemuliaan, sedangkan ternak ruminansia betina tidak produktif disingkirkan untuk dijadikan ternak potong.
(2) Ternak ruminansia betina produktif dilarang disembelih karena merupakan penghasil ternak yang baik, kecuali untuk keperluan penelitian, pemuliaan, atau pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan.
4. UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab IV Bagian keempat Pasal 34.
(1) Peternak dan perusahaan peternakan melakukan tata cara panen yang baik untuk mendapatkan hasil produksi dengan jumlah dan mutu yang tinggi.
(2) Pelaksanaan panen hasil budi daya harus mengikuti syarat kesehatan hewan, keamanan hayati, dan kaidah agama, etika, serta estetika.



5. UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab VI Bagian kesatu Pasal 56.
Kesehatan masyarakat veteriner merupakan penyelenggaraan kesehatan hewan dalam bentuk:
a. Pengendalian dan penanggulangan zoonosis;
b. Penjaminan keamanan, kesehatan, keutuhan, dan kehalalan produk hewan;
c. Penjaminan higiene dan sanitasi;
d. Penegmbangan kedokteran perbandingan; dan
e. Penanganan bencana.
6. UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab VI Bagian kesatu Pasal 58.
7. UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab VI Bagian kesatu Pasal 58.
(1) Dalam rangka menjamin produk hewan yang aman, sehat, utuh, dan halal, Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya melaksanakan pengawasan, pemeriksaan, pegujian, standardisasi, sertifikasi, dan registrasi produk hewan.
(2) Prngawasan dan pemeriksaan produk hewan berturut-turut dilakukan ditempat produksi, pada waktu pemotongan, penampungan, dan pengumpulan, pada waktu dalam keadaan segar, sebelum pengawetan, dan pada waktu peredaran setelah pengawetan.
(3) Standardisasi, sertifikasi, dan registrasi produk hewan dilakukan terhadap produk hewan yang diproduksi di dan/atau dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk diedarkan dan/atau dikeluarkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(4) Produk hewan yang diproduksi di dan/atau dimasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk diedarkan wajib disertai sertifikat veteriner dan sertifikat halal.
(5) Produk hewan yang dikeluarkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib disertai sertifikat veteriner dan sertifikat halal jika dipersyaratkan oleh negara pengimpor.
(6) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
(7) Untuk pangan olahan asal hewan, selain wajib memenuhi ketentuan sabagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pangan.
8. UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab VI Bagian kesatu Pasal 61.
(1) Pemotongan hewan yang dagingnya diedarkan harus:
a. dilakukan di rumah potong; dan
b. mengikuti cara penyembelihan yang memenuhi kaidah kesehatan masyarakat veteriner dan kesejahteraan hewan.
(2) Dalam rangka menjamin ketenteraman batin masyarakat, pemotongan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus memerhatikan kaidah agama dan unsur kepercayaan yang dianut masyarakat.
(3) Menteri menetapkan persyaratan rumah potong dan tata cara pemotongan hewan yang baik.
(4) Ketentuan mengenai pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikecualikan bagi pemotongan untuk kepentingan hari besar keagamaan, upacara adat, dan pemotongan darurat.
9. UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab VI Bagian kedua Pasal 66.
(1) Untuk kepentingan kesejahteraan hewan dilakukan tindakan yang berkaitan dengan penangkapan dan penanganan; penempatan dan pengandangan; pemeliharaan dan perawatan; pengangkutan; pemotongan dan pembunuhan; serta perlakuan dan pengayoman yang wajar terhadap hewan.
(2) Ketentuan mengenai kesejahteraan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara manusiawi yang meliputi:
a. penangkapan dan penanganan satwa dari habitatnya harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang konservasi;
b. penempatan dan pengandangan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga memungkinkan hewan dapat mengekspresikan perilaku alaminya;
c. pemeliharaan, pengamanan, perawatan, dan pengayoman hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa lapr dan haus, rasa sakit, penganiayaan dan penyalahgunaan, serta rasa takut dan tertekan;
d. pengangkutan hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa takut, dan tertekan serta bebas dari penganiayaan;
e. penggunaan dan pemanfaatan hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari penganiayaan dan penyalahgunaan;
f. pemotongan dan pembunuhan hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa sakit, rasa takut, dan tertekan, penganiayaan, dan penyalahgunaan; dan
g. perlakuan terhadap hewan harus dihindari dari tindakan penganiayaan dan penyalahgunaan.
(3) Ketentuan yang berkaitan dengan penyelenggaraan kesejahteraan hewan diberlakukan bagi semua jenis hewan bertulang belakang dan sebagian dari hewan yang tidak bertulang belakang yang dapat merasa sakit.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kesejahteraan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.

10. UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab VI Bagian kedua Pasal 67.
Penyelenggaraan kesejahteraan hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh Pemerintah dan pemerintah Daerah bersama masyarakat
Syarat Sah Penyembelihan hewan :
- Hewan tidak haram dimakan (anjing, hyena, kucing, babi, dan lain sebagainya) Binatang masih hidup atau bukan bangka
- Disembelih secara islam dan menyebut nama Allah SWT
- Penyembelihan sengaja dilakukan secara sadar
Kondisi Aman dan Sehat, dapat dilakukan dengan cara memeriksa kesehatan sapi pada :
• Awal Proses pemotongan (ante mortem), untuk memeriksa penyakit-penyakit yang menular.
• Akhir proses pemotongan (post mortem),yaitu pemeriksaan kesehatan daging untuk mengetahui kandungan bakteri/bakteri/ parasit dan kelainan patologis yang membahayakan kesehatan atau yang menyebabkan daging sapi tidak layak lagi untuk dikonsumsi.
Sedangkan halal, adalah cara memotong sapi dengan disertai doa dan prosedur yang sesuai dengan ketentuan agama Islam serta di sembelih oleh seorang Muslim. Untuk memenuhi persyaratan ASUH, proses pemotongan sapi harus dilakukan melalui prosedur dan tahap-tahap proses yang baku (standar). Standar dan prosedur operasi (S.O.P) pemotongan sapi yang telah ditetapkan oleh pemerintah adalah sbb:
• Mengistirahatkan sapi (rekondisi) yang akan dipotong minimal + 8 jam.
• Pemeriksaan sebelum proses penyembelihan (ante mortem) oleh petugas yang berkepentingan.
• Sapi dimasukan ke ruang pemotongan yang telah memenuhi persyaratan higienis dan sanitasi.
• Sesuai standar Halal, sapi direbahkan mengarah kiblat.
• Sapi dibersihkan dari segala kotoran yang melekat di badannya.
• Dilakukan proses pemotongan.
• Didiamkan beberapa saaat hingga darah betul-betul tiris/ habis, kemudian daging dimatangkan (aging), dengan cara menyimpannya pada suhu kamar (27 – 300C) selama 24 – 48 jam atau pada suhu pendinginan (10 -150C) selama 5 – 7 hari. Hal ini dilakukan karena setelah proses pemotongan, karkas (daging)nya akan mengalami rigor mortis, yaitu pengerasan dan peng-kakuan daging akibat terjadinya kekejangan (kontraksi) urat daging. Daging demikian jika dimasak akan menghasilkan hidangan daging yang keras dimakan. Penyimpanan karkas, di samping untuk pematangan daging juga bertujuan untuk persediaan bahan mentah (stock) dan untuk menunggu angkutan atau pemasaran.
• Proses pemisahan kepala dari badan.
• Proses pengulitan.
• Pemeriksaan kesehatan daging.
• Pemisahan daging, organ dalam, jeroan di ruang yang sudah ditentukan.
• Pemeriksaan post mortem oleh petugas keur master, jika produk daging dinyatakan sehat dengan stempel khusus, boleh dipasarkan dan didistribusikan.
Dengan adanya aturan pemerintah yang tercantum didalam Undang-Undang dan prosedur pemotongan hewan yang benar diharapkan semua RPH ataupun perusahaan peternakan skala kecil bisa mengetahui dan menerapkan bagaimana cara memotong hewan yang benar sehingga terjamin kesejahteraan bagi masyarakat dan hewan.




C. Solusi Pemerintah dan Sanksi
Pemerintah mempunyai kewenangan terhadap perlindungan peternak, perusahaan peternakan, hewan ternak dan konsumen sehingga semua aspek yang ada didalamnya mendapatkan kesejahteraan. Guna mendapatkan jaminan kesejahteraan tersebut pemerintah mengatur kewenangan tersebut dalam Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab VI Pasal 63, 64 yang berbunyi:
1. UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab VI Pasal 63.
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya wajib menyelenggarakan penjaminan higiene dan sanitasi.
(2) Untuk mewujudkan higiene dan sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan:
a. pengawasan, inspeksi, dan audit terhadap tempat produksi, rumah pemotongan hewan, tempat pemerahan, tempat penyimpanan, tempat pengolahan, dan tempat penjualan atau penjajaan serta alat dan mesin produk hewan;
b. surveilans terhadap residu obat hewan, cemaran mikroba, dan/atau cemaran kimia; dan
c. pembinaan terhadap orang yang terlibat secara langsung dengan aktivitas tersebut.
(3) Kegiatan higiene dan sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh dokter hewan berwenang di bidang kesehatan masyarakat veteriner.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai higiene dan sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.




2. UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab VI Pasal 64.
Pemerintah dan pemerintah daerah mengantisipasi ancaman terhadap kesehatan masyarakat yang ditimbulkan oleh hewan dan/atau perubahan lingkungan sebagai dampak bencana alam yang memerlukan kesiagaan dan cara penanggulangan terhadap zoonosis, masalah higiene, dan sanitasi lingkungan.
Pemerintah saat ini sedang memfinalisasi kebijakan untuk perbaikan dan penyempurnaan berbagai peraturan yang terkait dengan mata rantai pasokan ternak serta Rumah Potong Hewan (RPH) di Indonesia. Hal ini sebagai reaksi dari isu penyiksaan sapi Australia sebelum di sembelih di sejumlah RPH di Indonesia. Upaya ini merupakan komitmen pemerintah dalam menindaklanjuti semua peraturan perundangan yang terkait dengan aspek kesehatan, agama dan kesejahteraan hewan yang telah sesuai dengan ketentuan badan kesehatan hewan dunia (OIE), dimana Indonesia adalah anggotanya.
Saat ini beberapa RPH di Indonesia telah memiliki sertifikasi mutu yang dilakukan oleh pihak ketiga yang independen. Namun sertifikasi mutu belum mencakup prinsip kesejahteraan hewan secara keseluruhan di setiap rantai pasokannya (supply chain). Berdasarkan kondisi tersebut dan guna menjamin ketersediaan pasokan daging sapi dan keterjangkauan harga, terdapat beberapa solusi yang diputuskan oleh Pemerintah Indonesia saat ini, yang terbagi menjadi tiga solusi.
Solusi pertama, yaitu solusi jangka pendek, mengembangkan pedoman kesejahteraan hewan dengan mengacu pada standar dan ketentuan yang berlaku di Indonesia, termasuk untuk peraturan dalam hal kebersihan, sanitasi, maupun jaminan halal; menyusun daftar RPH yang sudah menerapkan prinsip kesejahteraan hewan dan peraturan yang lain maupun daftar RPH yang harus ditingkatkan pengelolaannya. Kemudian mengevaluasi RPH yang memenuhi syarat berdasarkan penilaian auditor independen internasional; membuka impor secara bertahap yang ditujukan kepada RPH yang telah siap menerapkan prinsip kesejahteraan hewan, dan bagi yang belum memenuhi syarat masih mempunyai waktu setidaknya enam bulan untuk memenuhi persyaratan impor khususnya sertifikasi dari RPH yang memenuhi standar; segera menerbitkan Peraturan Menteri (Menteri Perdagangan dan Menteri Pertanian) tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Hewan dan Produk sesuai dengan amanah UU no 18 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan; menerbitkan peraturan (dari) tentang ekspor dan impor hewan dan produk hewan.
Solusi kedua, yaitu solusi jangka menengah evaluasi atas cetak biru/blueprint program dan rencana aksi Program Swasembada Daging dikoordinasikan Kemenko Perekonomian dengan penanggung jawab utama adalah Kementan; rencana Aksi Program Swasembada Daging yang disepakati agar dapat selesai dalam satu sampai tiga bulan ke depan sehingga kepastian langkah Pemerintah dan Daerah dalam alokasi APBN/APBD 2012-1014, dan memberi arah yang jelas bagi stakeholder lain.
Solusi ketiga, solusi jangka panjang, melengkapi regulasi yang sudah ada dengan petunjuk teknis pelaksanaan; merevisi SNI tentang RPH karena sudah lebih dari lima tahun; menyusun SNI tentang Pedoman Kesejahteraan Hewan di RPH dan seluruh rantai pasok; memperkuat inspeksi dan surveillance; melakukan kerja sama internasional dalam meningkatkan capacity building dan infrastruktur supply chain kesejahteraan hewan.
Untuk menindaklanjuti dari solusi yang diberikan oleh pemerintah, diterapkannya juga sanksi-sanksi yang akan menjerat peternak yang mengabaikan peringatan pemerintah. Sanksi tegas diatur dan ditetapkan di dalam Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab XII Pasal 85, Bab XIII Pasal 86 yang berbunyi sebagai berikut:





1. UU Peternakanan dan Kesehatan Hewan Bab XII Pasal 85.
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 11 ayat (1), Pasal 13 ayat (4), Pasal 15 ayat (3), Pasal 18 ayat (2), Pasal 19 ayat (1), Pasal 22 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 23, Pasal 24 ayat (2), Pasal 25 ayat (1), Pasal 29 ayat (3), Pasal 42 ayat (5), Pasal 45 ayat (1), Pasal 47 ayat (2) atau ayat (3), Pasal 50 ayat (3), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (1), Pasal 54 ayat (3), Pasal 58 ayat (5), Pasal 59 ayat (2), Pasal 61 ayat (1) aatau ayat (2), Pasal 62 ayat (2) atau ayat (3), Pasal 69 ayat (2), dan Pasal 72 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. peringatan secara tertulis;
b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran; alat dan mesin, atau produk hewan dari peredaran;
c. pencabutan izin; atau
d. pengenaan denda.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(4) Besarnya denda sebagimana dimaksud pada huruf e dikenakan kepada setiap orang yang:
a. menyembelih ternak ruminansia kecil betina produktif paling sedikit sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah);
b. menyembelih ternak ruminansia besar betina produktif paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp 25.000.000,00(dua puluh lima juta rupiah); dan
c. melanggar selain sebagaimana dimaksud pada huruf adan huruf b paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(5) Besarnya denda sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditambah 1/3 (sepertiga) dari denda tersebut jika pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat yang berwenang atau korporasi.
2. UU Peternakanan dan Kesehatan Hewan Bab XIII Pasal 86.
Setiap orang yang menyembelih:
a. ternak ruminansia kecil betina produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah); dan
b. ternak ruminansia besar betian produktif sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling sedikit 3 (tiga) bulan dan paling lama 9 (sembilan) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).














IV. KESIMPULAN


Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari penulisan paper ini antara lain:
1. Peraturan perundangan yang berkaitan persyaratan RPH di Indonesia telah diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 555/Kpts/TN.240/9/1986 tentang Syarat-Syarat Rumah Pemotongan Hewan dan Usaha Pemotongan dan dalam Rancangan Undang-Undang Peternakan dan kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab I Pasal 1 ayat 15 dan Bab VI Pasal 62.
2. Prosedur Standar Operasi Pemotongan Sapi adalah alur proses untuk memproduksi daging sapi yang Aman, Sehat, Umum dan dan Halal (ASUH) baik menggunakan alat dan mesin peternakan yang modern ataupun yang tradisional seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab I Pasal 1 ayat 40 dan Bab IV Bagian ketiga Pasal 24 ayat (1).
3. Undang-Undang yang mengatur dalam hal perlakuan terhadap ternak dan cara pemotongan antara lain: UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab I Pasal 1 ayat 42, Bab II Pasal 3 huruf a, Bab IV Bagian Kesatu Pasal 18 ayat (1) dan (2), Bab IV Bagian keempat Pasal 34, Bab VI Bagian kesatu Pasal 56, Bab VI Bagian kesatu Pasal 58, Bab VI Bagian kesatu Pasal 58, Bab VI Bagian kesatu Pasal 61, Bab VI Bagian kedua Pasal 66, Bab VI Bagian kedua Pasal 67.
4. Pemerintah mempunyai kewenangan terhadap perlindungan peternak, perusahaan peternakan, hewan ternak dan konsumen sehingga semua aspek yang ada didalamnya mendapatkan kesejahteraan yang diatur dalam Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab VI Pasal 63, Bab VI Pasal 64.
5. Pemerintah akan memberikan sanksi tegas bagi yang melanggar aturan pemerintah dan Undang-Undang.Sanksi tegas tersebut diatur dan ditetapkan di dalam Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab XII Pasal 85, dan Bab XIII Pasal 86.
DAFTAR PUSTAKA


Abrianto W. W.2010. http://www.jpnn.com/read/2011/07/09/97580/Oktober,-Impor-Sapi-Australia-Dibuka-. Diakses pada tanggal 23 Agustus 2011 pukul 17.00
Blakely, J. and D. H. Bade, 1992. The Science of Animal Husbandry. Penterjemah: B. Srigandono. Cet. ke-2. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Koswara, O., 1988. Persyaratan Rumah Pemotongan Hewan dan Veterinary Hygine Untuk Eksport Produk-produk Peternakan. Makalah Seminar Ternak Potong, Jakarta.
Lestari, P.T.B.A., 1994. Rancang Bangun Rumah Potong Hewan di Indonesia. P. T. Bina Aneka Lestari, Jakarta.
Manual Kesmavet, 1993. Pedoman Pembinaan Kesmavet. Direktorat Bina Kesehatan Hewan Direktorat Jendral Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.
Nuhriawangsa, A. M. P., 1999. Pengantar Ilmu Ternak dalam Pandangan Islam: Suatu Tinjauan tentang Fiqih Ternak. Program Studi Produksi Ternak, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Septina Rumah Potong Hewan.http://septinalove.blogspot.com/2010/03/rumah-potong-hewan-rph-sapi.html. diakses pada tanggal 23 agustus 2011 pukul 16.00 WIB
Smith, G. C., G. T. King dan Z. L. Carpenter, 1978. Laboratory Manual for Meat Science. 2nd ed. American Press, Boston, Massachusetts.
Soeparno, 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan ke 1. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Swatland, H. J., 1984. Structure and Development of Meat Animals. Prentice-Hall

Tidak ada komentar:

Posting Komentar