Sabtu, 08 Oktober 2011

makalah undang-undang karanina hewan

BAB 1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanah air Indonesia dikaruniai Tuhan Yang Maha Esa berbagai jenis sumberdaya alam hayati berupa anekaragam jenis hewan, ikan, dan tumbuhan yang perlu dijaga dan dilindungi kelestariannya. Sumberdaya alam hayati tersebut merupakan salah satu modal dasar dan sekaligus sebagai faktor dominan yang perlu diperhatikan dalam pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Tanah air Indonesia atau sebagian pulau-pulau di Indonesia masih bebas dari berbagai hama dan penyakit hewan, hama dan penyakit ikan, serta organisme pengganggu tumbuhan yang memiliki potensi untuk merusak kelestarian sumberdaya alam hayati. Hewan sebagai karunia dan amanat Tuhan Yang Maha Esa mempunyai peranan penting dalam penyediaan pangan asal hewan dan hasil hewan lainnya serta jasa bagi manusia yang pemanfaatannya perlu diarahkan untuk kesejahteraan masyarakat.
Dengan meningkatnya lalu lintas hewan antar negara dan dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia, baik dalam rangka perdagangan, pertukaran, maupun penyebarannya semakin membuka peluang bagi kemungkinan masuk dan menyebarnya hama dan penyakit hewan yang berbahaya atau menular yang dapat merusak sumberdaya alam hayati. Untuk mencegah masuknya hama dan penyakit hewan ke wilayah negara Republik Indonesia mencegah tersebarnya dari suatu area ke area lain, dan mencegah keluarnya dari wilayah negara Republik Indonesia, di perlukan tindakan karantina.
Sebagai upaya untuk mengoptimalkan upaya pencegahan tersebarnya hama dan penyakit, pemerintah telah mengambil langkah-langkah di bidang karantina hewan melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku.

B. Tujuan
Penulisan makalah tentang Karantina Hewan dengan maksud dan tujuan agar Penulis serta pembaca mengerti pentingnya karantina hewan dan dapat dimanfaatkan sebagai salah satu acuan pedoman teknis dalam pelaksanaan Karantina Hewan.























BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

Karantina hewan adalah tempat pengasingan dari atau tindakan sebagai upaya pencegahan masuk dan tersebarnya hama dan penyakit hewan karantina dari luar negeri dan dari suatu area ke area lain di dalam negeri atau keluarnya dari dalam wilayah Negara Republik Indonesia.
Tugas karantina hewan adalah Mencegah masuknya hama dan penyakit hewan karantina dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia, Mencegah tersebarnya hama dan penyakit hewan karantina dari suatu area ke area lain di dalam wilayah Negara Republik Indonesia dan Mencegah keluarnya hama dan penyakit hewan karantina dari wilayah Negara Republik Indonesia. Fungsi-Fungsi karantina hewan adalah Tindakan karantina terhadap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina di tempat pemasukan dan pengeluaran, Pengembangan teknik dan metode tindakan karantina hewan, Pemetaan daerah sebar hama dan penyakit hewan karantina, Pembuatan koleksi hama dan penyakit hewan karantina, Pengumpulan dan pengolahan data tindakan karantian hewan, Urusan tata usaha dan rumah tangga Balai Besar Karantina Hewan dan Pengawasan dan pemeriksaan lalu lintas hewan dan produk hewan.
Persyaratan Umum Karantina Hewan
1. Dilengkapi dengan Surat Keterangan Kesehatan/Sanitasi oleh pejabat yang berwenang dari negara asal/daerah asal.
2. Melalui tempat pemasukan dan pengeluaran yang telah ditetapkan.
3. Dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina hewan di tempat pemasukan atau tempat pengeluaran untuk keperluan tindakan karantina.
(Balai Besar Karantina Pertanian Surabaya, 2009)



Prosedur Impor
1. Melaporkan rencana pemasukan kepada petugas karantina hewan di bandara/pelabuhan pemasukan dengan mengajukan permohonan periksa 2 hari sebelum pemasukan.
2. Diserahkan kepada petugas karantina setibanya di bandara/pelabuhan pemasukan untuk keperluan tindak karantina sesuai dengan peraturan perundangan karantina.
Persyaratan Impor
1. Dilengkapi sertifikat kesehatan dari negara asal dan negara transit yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang.
2. Surat keterangan asal (COO) bagi media yang tergolong benda lain yang diterbitkan oleh perusahaan tempat pengolahan di daerah asal.
3. Surat persetujuan pemasukan (SPP) dari Direktorat Jendral Peternakan.
4. Melalui tempat-tempat pemasukan yang telah ditetapkan.
5. Dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina untuk keperluan tindakan karantina.
6. Surat angkut satwa (CITES) bagi media yang tergolong hewan liar yang diterbitkan oleh pejabat berwenang di negara asal.
(pudjiatmoko, 2009)
Sejarah penetapan undang-undang karantina :
1. Tahun 1877, dicetuskan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan karantina (tumbuhan), yakni Ordonasi 19 Desember 1877 (Staatsblad No. 262) tentang larangan pemasukan tanaman kopi dan biji kopi dari Srilanka.
2. Tahun 1914, sebagai tindakan lanjut dari Ordonasi 28 Januari 1914 (Staatsblad No. 161) penyelenggaraan kegiatan perkarantinaan secara institusional di Indonesia secara nyata baru dimulai oleh sebuah organisasi pemerintah bernama Instituut voor Plantenzekten en Cultures (Balai Penyelidikan Penyakit Tanaman dan Budidaya).
3. Tahun 1930, pelaksanaan kegiatan operasional karantina di pelabuhan-pelabuhan diawasi secara sentral oleh Direktur Balai Penyelidikan Penyakit Tanaman dan Budidaya, serta ditetapkan seorang pegawai Balai yang kemudian diberi pangkat sebagai Plantenziektenkundigeambtenaar (pegawai ahli penyakit tanaman).
4. Tahun 1939, dinas karantina tumbuh-tumbuhan (Planttenquarantine Dienst) menjadi salah satu dari 3 seksi dari Balai Penyelidikan Penyakit Tanaman (Instituut voor Plantenziekten).
5. Tahun 1957, dengan Keputusan Menteri Pertanian, dinas tersebut ditingkatkan statusnya menjadi Bagian.
6. Tahun 1961, BPHT diganti namanya menjadi LPHT (Lembaga Penelitian Hama dan Penyakit Tanaman) yang merupakan salah satu dari 28 lembaga penelitian di bawah Jawatan Penelitian Pertanian.
7. Tahun 1966, dalam reorganisasi dinas karantina tumbuhan tidak lagi ditampung dalam organisasi Lembaga Pusat Penelitian Pertanian (LP3) yang merupakan penjelmaan LPHT. Kemudian Karantina menjadi salah satu Bagian di dalam Biro Hubungan Luar Negeri Sekretaris Jenderal.
8. Tahun 1969, status organisasi karantina tumbuhan diubah kembali dengan ditetapkannya Direktorat Karantina Tumbuh-tumbuhan yang secara operasional berada di bawah Menteri Pertanian dan secara administratif di bawah Sekretaris Jenderal. Dengan status “direktorat” tersebut, status organisasi karantina tumbuhan meningkat dari eselon III menjadi eselon II.
9. Tahun 1974, organisasi karantina diintegrasikan dalam wadah Pusat Karantina Pertanian di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
10. Tahun 1980, berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 453 dan No. 861 tahun 1980, organisasi Pusat Karantina Pertanian (yang notabene baru diisi karantina tumbuhan ex Direktorat Karantina Tumbuhan), mempunyai rentang kendali manajemen yang luas. Pusat Karantina Pertanian pada masa itu terdiri dari 5 balai (eselon III), 14 Stasiun (eselon IV), 38 Pos (eselon V) dan 105 Wilayah Kerja (non structural) yang tersebar di seluruh Indonesia.
11. Tahun 1983, pusat Karantina Pertanian dialihkan kembali dari Badan Litbang Pertanian ke Sekretariat Jenderal dengan pembinaan operational langsung di bawah Menteri Pertanian. Namun kali ini kedua unsur karantina (hewan dan tumbuhan) benar-benar diintegrasikan.
12. Tahun 1985, direktorat Jenderal Peternakan menyerahkan pembinaan unit karantina hewan, sedangkan Badan Litbang Pertanian menyerahkan pembinaan unit karantina tumbuhan, masing-masing kepada Sekretariat Jenderal.
13. Tahun 2001, terbentuklah Badan Karantina Pertanian, organisasi Eselon I di Departemen Pertanian melalui Keppres No. 58 tahun 2001.
(Anonim, 2010)










BAB III PEMBAHASAN

Indonesia masih bebas dari beberapa jenis Hama dan Penyakit Hewan Karantina (HPHK). Karena itu, kondisi tersebut harus senantiasa dijaga jangan sampai HPHK masuk dan tersebar ke dalam wilayah negara Republik Indonesia. Upaya untuk mencegah masuk dan tersebarnya HPHK dilakukan melalui tindakan karantina hewan. Upaya untuk mencegah masuk dan tersebarnya HPHK dilakukan melalui tindakan karantina hewan. Ini adalah bentuk peran Badan Karantina Pertanian (Baranta) dalam mewujudkan swasembada daging tahun 2014. Karena serangan HPHK ini akan dapat mengancam keberhasilan produksi atau swasembada daging.
Daging merupakan sumber protein yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia menjadi lebih baik. Namun, saat ini Indonesia masih belum mampu memenuhi sendiri kebutuhan konsumsi daging masyarakatnya, sehingga masih diperlukan importasi daging dari luar negeri. Importasi daging harus dilakukan secara bijaksana agar kepentingan nasional dapat tetap dijaga. Salah satu hal yang dapat merugikan kepentingan nasional, apabila importasi daging tidak dilakukan dengan baik.
Masalah karantina hewan di jelaskan dalam undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan pada tanggal 8 Juni 1992 penyelenggaraan kegiatan karantina hewan, ikan dan tumbuhan di Indonesia telah mempunyai landasan hukum baru yang lengkap dan sesuai dengan perkembangan kebutuhan. Sebagaimana umumnya suatu Undang-undang, Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 memuat ketentuan-ketentuan yang bersifat umum yang perlu dijabarkan lebih lanjut dalam ketentuan-ketentuan yang lebih operasional dalam suatu Peraturan Pemerintah yang lebih spesifik sifatnya, khusus mengatur mengenai pelaksanaan karantina hewan.
Ada dua masalah dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 yang secara tegas diamanatkan untuk diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, yaitu masalah jasa karantina dan masalah transit alat angkut yang mengangkut media pembawa. Namun demikian, hal ini tidak menutup kemungkinan untuk mengatur lebih lanjut masalah-masalah lain di luar kedua masalah tersebut dalam suatu Peraturan Pemerintah, mengingat masalah yang akan diatur mempunyai implikasi yang luas terhadap kepentingan umum atau menyangkut kompetensi dalam berbagai departemen sehingga pelaksanaannya memerlukan koordinasi antar departemen. Selain itu sebagian dari masalah tersebut merupakan materi baru atau yang tidak secara jelas diatur dalam Undang-undang tersebut.
Dengan tertuangnya materi tentang karantina dalam Peraturan Pemerintah ini, maka pelaksanaan karantina hewan akan memiliki landasan hukum yang lebih pasti. Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini juga dikaitkan dan diselaraskan hubungan antara pelaksanaan karantina hewan dengan kebijaksanaan bidang kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner sebagai kesatuan dalam mata rantai kesisteman pengamanan/perlindungan sumber daya hayati hewan. Begitu pula dengan kesepakatan, rekomendasi, peraturan ataupun konvensi internasional yang menyangkut bidang karantina hewan, juga diperhatikan sebagai acuan agar ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah ini harmonis dengan aturan main global.
Atas pertimbangan-pertimbangan sebagaimana tersebut di atas, selain masalah jasa karantina dan transit alat angkut, dalam Peraturan Pemerintah ini juga diatur lebih lanjut masalah persyaratan karantina, tindakan karantina terhadap pemasukan, transit, atau pengeluaran media pembawa, tindakan karantina hewan terhadap alat angkut, tindakan karantina hewan terhadap media pembawa lain, tindakan karantina hewan di luar tempat pemasukan dan pengeluaran, kawasan karantina, jenis hama penyakit hewan karantina dan media pembawa, penetapan tempat pemasukan dan pengeluaran, instalasi karantina hewan serta pengembangan peran serta masyarakat.
Sehubungan dengan hal di atas pemerintah perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Karantina Hewan yang bersifat lebih spesifik, khusus mengatur mengenai pelaksanaan karantina hewan, sehingga ditetapkan undang-undang Nomor 82 Tahun 2000 tentang Karantina Hewan BAB II PERSYARATAN KARANTINA
Pasal 2
Media pembawa yang dimasukkan ke dalam wilayah Negara Republik
Indonesia, wajib :
a. dilengkapi sertifikat kesehatan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang di negara asal dan negara transit;
b. dilengkapi surat keterangan asal dari tempat asalnya bagi media
c. pembawa yang tergolong benda lain;
d. melalui tempat-tempat pemasukan yang telah ditetapkan; dan
e. dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina di tempat
f. pemasukan sebagaimana dimaksud dalam huruf c untuk keperluan
g. tindakan karantina.
Pasal 3
Media pembawa yang dibawa atau dikirim dari suatu area ke area lain di
dalam wilayah negara Republik Indonesia, wajib :
a. dilengkapi sertifikat kesehatan yang diterbitkan oleh dokter hewan karantina dari tempat pengeluaran dan tempat transit;
b. dilengkapi surat keterangan asal dari tempat asalnya bagi media pembawa yang tergolong benda lain
c. melalui tempat-tempat pemasukan dan pengeluaran yang telah ditetapkan; dan
d. dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina di tempat pemasukan dan pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam huruf c untuk keperluan tindakan karantina.




Pasal 4
Media pembawa yang akan dikeluarkan dari wilayah negara Republik Indonesia, wajib :
a. dilengkapi sertifikat kesehatan yang diterbitkan oleh dokter hewan karantina di tempat pengeluaran;
b. dilengkapi surat keterangan asal dari tempat asalnya bagi media pembawa yang tergolong benda lain;
c. melalui tempat-tempat pengeluaran yang telah ditetapkan; dan
d. dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina di tempat pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam huruf c untuk keperluan tindakan karantina.
Pasal 5
1. Sertifikat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, Pasal 3 huruf a dan Pasal 4 huruf a, dapat berbentuk sertifikat kesehatan hewan yang diperuntukkan bagi jenis hewan atau sertifikat sanitasi yang diperuntukkan bagi jenis bahan asal hewan dan hasil bahan asal hewan.
2. Sertifikat kesehatan hewan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang- kurangnya memuat keterangan tentang :
a. asal negara, area, atau tempat yang dalam kurun waktu tertentu tidak berjangkit hama penyakit hewan karantina yang dapat ditularkan melalui jenis hewan tersebut; dan
b. saat pemberangkatan tidak menunjukan gejala hama penyakit hewan menular, bebas ektoparasit, dalam keadaan sehat dan layak diberangkatkan.
3. Sertifikat sanitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang-kurangnya memuat keterangan tentang :
a. asal negara, area, atau tempat yang dalam kurun waktu tertentu tidak berjangkit hama penyakit hewan karantina;
b. berasal dari jenis hewan yang sehat;
c. bebas dari hama dan penyakit yang dapat ditularkan melalui jenis bahan asal hewan atau hasil bahan asal hewan tersebut;
d. khusus bagi keperluan konsumsi manusia telah sesuai dengan ketentuan teknis mengenai kesehatan masyarakat veteriner serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4. Surat keterangan asal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b,
Pasal 3 huruf b, dan Pasal 4 huruf b diperuntukkan bagi benda lain, yang sekurang-kurangnya memuat keterangan tentang : produk, negara, area, atau tempat asal dan perlakuan sanitasi.
5. Kurun waktu tertentu tidak berjangkitnya hama penyakit hewan karantina pada negara, area, atau tempat asal media pembawa yang harus dicantumkan pada sertifikat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3), ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal 6
1. Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d, Pasal 3 huruf d dan Pasal 4 huruf d, bagi hewan disampaikan paling singkat 2 (dua) hari sebelum pemasukan atau pengeluaran, sedangkan bagi bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan benda lain disampaikan paling singkat 1(satu) hari sebelum pemasukan atau pengeluaran.
2. Khusus bagi pemasukan media pembawa yang dibawa oleh penumpang, jangka waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan pada saat pemasukan.
3. Pemilik media pembawa yang tidak mengikuti ketentuan waktu pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), atas pertimbangan teknis pemeriksaan, kesiapan petugas, dan atau sarana prasarana.yang diperlukan, dokter hewan karantina dapat menunda pemeriksaan.
4. Terhadap media pembawa yang tidak dilaporkan kepada petugas karantina pada saat pemasukan atau pengeluaran, dilakukan penahanan.

Pasal 7
1. Selain persyaratan yang diwajibkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4, dalam hal tertentu Pemerintah dapat menetapkan kewajiban tambahan.
2. Kewajiban tambahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berupa persyaratan teknis dan atau manajemen penyakit berdasarkan disiplin ilmu kedokteran hewan.
3. Kewajiban tambahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur ebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
BAB III TINDAKAN KARANTINA Bagian Pertama Umum menjelaskan tentang:
Pasal 8
1. Media pembawa yang dimasukkan ke dalam, dibawa, atau dikirim dari suatu area ke area lain, transit di dalam, dan atau dikeluarkan dari wilayah negara Republik Indonesia dikenakan tindakan karantina,
2. Tindakan karantina berupa pemeriksaan, pengasingan, pengamatan, perlakuan, penahanan, penolakan, pemusnahan dan pembebasan.,
3. Pelaksanaan tindakan karantina terhadap media pembawa yang membahayakan kesehatan manusia, dikoordinasika dengan instansi yang bertanggung jawab di bidang kesehatan masyarakat veteriner dan zoonosis.
Pasal 9
1. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dilakukan untuk mengetahui kelengkapan dan kebenaran isi dokumen dan mendeteksi hama penyakit hewan karantina, status kesehatan dan sanitasi media pembawa, atau kelayakan sarana prasarana karantina dan alat angkut.
2. Pemeriksaan kesehatan atau sanitasi media pembawa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan secara fisik dengan cara :
a. pemeriksaan klinis pada hewan; atau
b. pemeriksaan kemurnian atau keutuhan secara organoleptik pada bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan benda lain.
3. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan pada siang hari, kecuali dalam keadaan tertentu menurut pertimbangan dokter hewan karantina dapat dilaksanakan pada malam hari.
4. Jika pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) belum dapat dikukuhkan diagnosanya, maka dokter hewan karantina dapat melanjutkan dengan pemeriksaan laboratorium, patologi, uji biologis, uji diagnostika, atau teknik dan metoda pessmeriksaan lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan teknologi.
5. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dilakukan pada laboratorium yang ditunjuk.
Pasal 10
1. Pengasingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dilakukan terhadap sebagian atau seluruh media pembawa untuk diadakan pengamatan, pemeriksaan dan perlakuan dengan tujuan untukmencegah kemungkinan penularan hama penyakit hewan karantina.
2. Lamanya waktu pengasingan sangat tergantung pada lamanya waktu yang dibutuhkan bagi pengamatan, pemeriksaan, dan atau perlakuan terhadap media pembawa.
3. Lamanya waktu pengasingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),dipergunakan sebagai dasar penetapan masa karantina.
4. Masa karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), terhitung sejak media pembawa diserahkan oleh pemiliknya kepada petugas karantina sampai dengan selesainya pelaksanaan tindakan karantina terhadap media pembawa.


Pasal 11
1. Pengamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dilakukan untuk mendeteksi lebih lanjut hama penyakit hewan karantina dengan cara mengamati timbulnya gejala hama penyakit hewan karantina pada media pembawa selama diasingkan dengan mempergunakan sistem semua masuk-semua keluar.
2. Selain pengamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengamatan juga dapat dilakukan untuk mengamati situasi hama penyakit hewan karantina pada suatu negara, area, atau tempat.
3. Lamanya waktu pengamatan atau masa pengamatan terhitung sejak dimulai sampai dengan selesainya pelaksanaan tindakan pengamatan.
4. Masa pengamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), ditetapkan dengan Keputusan Menteri berdasarkan lamanya masa inkubasi, dan sifat subklinis penyakit serta sifat pembawa dari suatu jenis media pembawa.
5. Pengamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan ketentuan:
a. untuk pemasukan dari luar negeri dilakukan di instalasi karantina atau pada tempat atau area pemasukan;
b. untuk pengangkutan antar area, diutamakan pada are pengeluaran; atau
c. untuk pengeluaran ke luar negeri pengamatan disesuaikan dengan permintaan negara tujuan. (6) Penyakit-penyakit yang belum diketahui masa inkubasi, sifat hama
6. penyakit dan cara penularannya, belum pernah ada, atau sudah bebas di suatu area atau wilayah negara Republik Indonesia, masa pengamatannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Pasal 12
1. Perlakuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) merupakan tindakan untuk membebaskan dan menyucihamakan media pembawa dari hama penyakit hewan karantina, atau tindakan lain yang bersifat preventif, kuratif dan promotif.
2. Perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurangkurangnya hanya dapat dilakukan setelah media pembawa terlebih dahulu diperiksa secara fisik dan dinilai tidak mengganggu proses pengamatan dan pemeriksaan selanjutnya.
Pasal 13
1. Penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dilakukan terhadap media pembawa yang belum memenuhi persyaratan karantina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7, atau dokumen lain yang dipersyaratkan oleh Menteri lain yang terkait pada waktu pemasukan, transit, atau pengeluaran di dalam wilayah negara Republik Indonesia.
2. Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan setelah terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan fisik terhadap media pembawa dan diduga tidak berpotensi membawa dan menyebarkan hama penyakit hewan karantina.
3. Selama masa penahanan dapat dilakukan tindakan karantina lain yang bertujuan untuk mendeteksi kemungkinan adanya hama penyakit hewan karantina dan penyakit hewan lainnya dan atau mencegah kemungkinan penularannya, menurut pertimbangan dokter hewan karantina.
Pasal 14
1. Penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dilakukan terhadap media pembawa yang dimasukkan ke dalam atau dimasukkan dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia, apabila ternyata :
a. setelah dilakukan pemeriksaan di atas alat angkut, tertular hama penyakit hewan karantina tertentu yang ditetapkan oleh Menteri, busuk, rusak, atau merupakan jenis-jenis yang dilarang pemasukannya;
b. persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 tidak seluruhnya dipenuhi;
c. setelah dilakukan penahanan dan keseluruhan persyaratan yang harus dilengkapi dalam batas waktu yang ditetapkan tidak dapat dipenuhi; atau
d. setelah diberikan perlakuan di atas alat angkut, tidak dapat disembuhkan dan atau disucihamakan dari hama penyakit hewan karantina.
2. Penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat dilakukan terhadap media pembawa yang transit dan akan dikeluarkan dari satu area ke area lain atau ke luar wilayah negara Republik Indonesia.
3. Penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), dilakukan oleh atau berkoordinasi dengan penanggung jawab tempat pemasukan, transit, atau pengeluaran segera setelah memperoleh saran dari dokter hewan karantina.
4. Jika penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak ditetapkan batas waktunya secara khusus, maka penolakannya dilakukan pada kesempatan pertama.
Pasal 15
1. Pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dilakukan terhadap media pembawa yang dimasukkan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia dan atau dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia, apabila ternyata:
a. setelah media pembawa tersebut diturunkan dari alat angkut dan dilakukan pemeriksaan, tertular hama penyakit hewan karantina tertentu yang ditetapkan oleh Menteri, busuk, rusak, atau merupakan jenis-jenis yang dilarang pemasukannya;
b. media pembawa yang ditolak tidak segera dibawa ke luar dari wilayah negara Republik Indonesia atau dari area tujuan oleh pemiliknya dalam batas waktu yang ditetapkan;
c. setelah dilakukan pengamatan dalam pengasingan, tertular hama penyakit hewan karantina tertentu yang ditetapkan oleh Menteri; atau
d. setelah media pembawa tersebut diturunkan dari alat angkut dan diberi perlakuan, tidak dapat disembuhkan dan atau disucihamakan dari hama penyakit hewan karantina.
2. Pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat dilakukan terhadap media pembawa yang diturunkan pada waktu transit atau akan dikeluarkan dari satu area ke area lain atau ke luar wilayah negara Republik Indonesia.
3. Pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), harus disaksikan oleh petugas kepolisian dan petugas instansi lain yang terkait.
4. Pemusnahan media pembawa yang dilakukan di luar instalasi karantina tempat pemasukan dan atau tempat pengeluaran, harus dikonsultasikan terlebih dahulu dengan Pemerintah Daerah setempat.
Pasal 16
1. Pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dilakukan terhadap media pembawa yang dimasukkan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia dan atau dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia, dan diberikan sertifikat pelepasan apabila ternyata :
a. setelah dilakukan pemeriksaan tidak tertular hama penyakithewan karantina;
b. setelah dilakukan pengamatan dalam pengasingan tidak tertularhama penyakit hewan karantina;
c. setelah dilakukan perlakuan dapat disembuhkan dari hamapenyakit hewan karantina; atau
d. setelah dilakukan penahanan seluruh persyaratan yangdiwajibkan dapat dipenuhi.
2. Pemberian sertifikat pelepasan terhadap media pembawa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditujukan kepada dokter hewan yang berwenang di daerah tujuan.
3. Pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dilakukan terhadap media pembawa yang akan dikeluarkan dari dalam atau dikeluarkan dari satu area ke area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia, dan diberikan sertifikat kesehatan apabila ternyata:
a. setelah dilakukan pemeriksaan tidak tertular hama penyakit hewan karantina;
b. setelah dilakukan pengamatan dalam pengasingan tidak tertular hama penyakit hewan karantina;
c. setelah dilakukan perlakuan dapat disembuhkan dari hama penyakit hewan karantina; atau
d. setelah dilakukan penahanan seluruh persyaratan yang diwajibkan dapat dipenuhi.
4. Pemberian sertifikat kesehatan terhadap media pembawa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), ditujukan kepada petugas karantina di tempat pemasukan di negara atau area tujuan.
5. Sertifikat pelepasan dan sertifikat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (4), diterbitkan oleh dokter hewan karantina dalam waktu paling lama 24 (dua puluh empat) jam dari saat pembebasan.
6. Sertifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), merupakan tanggung jawab dokter hewan karantina secara berkelanjutan.
Untuk memperlancar jalanya Karantina Hewan dan dapat mencapai tujuan agar Hama Penyakit Karantina Hewan tidak masuk dan menyebar di wilayah Republik Indonesia, maka di tetapkan undang-undang no 16 tahun 1992 BAB IX tentang KETENTUAN PIDANA pada :
Pasal 31
1. Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 21, dan Pasal 25, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 150.000.000. (seratus lima puluh juta rupiah).
2. Barangsiapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 21, dan Pasal 25, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.50.000.000. (lima puluh juta rupiah).
3. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), adalah pelanggaran.
Dan dalam undang-undang no 82 tahun 2000 ditetapkan dalm BAB X PETUGAS DAN SARANA KARANTINA
Pasal 89
1. Pelaksanaan tindakan karantina dilakukan oleh petugas karantina.
2. Petugas karantina terdiri dari dokter hewan karantina dan paramedik karantina yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.
3. Petugas karantina merupakan pejabat fungsional yang syarat-syaratnya ditetapkan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.
4. Petugas karantina dapat mendukung kelancaran pelayanan media pembawa yang terkait dengan tugas perkarantinaan melalui penugasan khusus oleh Menteri atau Menteri lain yang terkait.
Pasal 90
1. Dalam melaksanakan tindakan karantina, petugas karantina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) juga berwenang untuk
a. memasuki dan memeriksa alat angkut, gudang, kade, apron, ruang keberangkatan dan kedatangan penumpang di tempat pemasukan atau pengeluaran, untuk mengetahui ada tidaknya media pembawa yang dilalulintaskan
b. melarang setiap orang yang tidak berkepentingan memasuki instalasi dan atau alat angkut serta tempat-tempat di mana sedang dilakukan tindakan karantina tanpa persetujuan dokter hewan karantina
c. melarang setiap orang untuk menurunkan atau memindahkan media pembawa yang sedang dikenakan tindakan karantina dari alat angkut
d. melarang setiap orang untuk memelihara, menyembelih, atau membunuh hewan di tempat pemasukan, pengeluaran, atau di instalasi karantina, kecuali atas persetujuan dokter hewan karantina
e. melarang setiap orang untuk menurunkan atau membuang bangkai hewan, sisa pakan, sampah, bahan, atau barang yang pernah berhubungan dengan hewan dari alat angkut; dan atau
f. menetapkan cara perawatan dan pemeliharaan media pembawa yang sedang dikenakan tindakan karantina.
2. Selain kewenangan dalam bidang karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), petugas karantina yang dokter hewan karantina juga berwenang dalam bidang kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner di atas alat angkut, instalasi karantina, atau tempat-tempat di dalam lingkungan wilayah tempat pemasukan atau pengeluaran.

Dari Bab III Tentang Tindakan Karantina Bagian Pertama Umum pasal 8 sampai pasal 16 penjelasannya sebagai berikut :
A. Tindakan Karantina Hewan
Adalah semua tindakan yang bertujuan untuk mencegah masuk keluarnya hama dan penyakit hewan karantina ke dalam dan dari wilayah Republik Indonesia dan mencegah tersebarnya hama dan penyakit hewan karantina dari satu pulau ke pulau lain dalam Republik Indonesia, meliputi :
1. Pemeriksaan
Tindakan yang dilakukan untuk mengetahui kelengkapan dan kebenaran isi dokumen dan mendeteksi hama penyakit hewan karantina, status kesehatan dan sanitasi media pembawa, atau keyakan sarana prasarana karantina dan alat angkut.
2. Pengasingan
3. Pengamatan
4. Perlakuan
Pengasingan, pengamatan dan perlakuan dilakukan apabila pemeriksaan fisik tidak dapat dilakukan di tempat pemasukan/pengeluaran atau memerlukan pemeriksaan lebih cermat dan memerlukan waktu yang lama, menurut pertimbangan dokter hewan karantina
5. Penahanan
Dilakukan bila : dokumen tidak lengkap, terdapat ketidaksesuaian antara dokumen dan fisik, terdapat kecurigaan adanya hama penyakit hewan karantina
6. Penolakan
Dokumen tidak sesuai dengan fisik/tidak dapat dilengkapi dalam waktu tertentu, terdapat kecurigaan adanya hama penyakit hewan karantina eksotik, terdapat hama penyakit hewan karantina yang tidak dapat dibebaskan atau disembuhkan.
7. Pemusnahan
Setelah dilakukan tindakan penolakan, pemilik/kuasanya tidak menyanggupi sesuai waktu yang ditentukan, selama masa pengasingan ditemukan adanya hama penyakit hewan karantina eksotik atau terdapat hama penyakit hewan karantina yang tidak dapat dibebaskan atau disembuhkan.
8. Pembebasan
Semua tindakan karantina yang dipersyaratkan telah dilaksanakan atau tidak ditemukan hama penyakit hewan menular, memenuhi kewajiban terhadap imbalan jasa karantina sesuai peraturan yang berlaku.
B. Media Pembawa Hama dan penyakit Hewan Karantina
Karantina hewan mempunyai kewenangan mengawasi lalu lintas dan melakukan tindak karantina hewan terhadap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina baik ekspor, impor, pemasukan maupun pengeluaran antar area atau domestik yang terdiri dari :
1. Semua jenis hewan
2. Bahan Asal Hewan : Bahan yang berasal dari hewan yang dapat diolah lebih lanjut seperti daging, telur, susu, jerohan, kulit, darah, tanduk, tulang, sarang burung wallet, rnadu, embrio beku, mani beku, hewan opset.
3. Hasil Bahan Asal Hewan : Bahan asal hewan yang telah diolah seperti sosis, bakso, dendeng, abon, keju, cream, yugurt, mentega.
4. Media Pembawa Lain : berupa pakan hewan, ternak (pellet, konsentrat, hay, silase, cubes meal), pakan burung, pakan hewan kesayangan (cecak, ulat, kadal, tokek, kecoa, belalang, jangkrik, pet food).
5. Benda lain : adalah media pembawa yang bukan tergolong hewan, bahan asal hewan dan hasil bahan asal hewan yang mempunyai potensi penyebab hama dan penyakit hewan berupa bahan biologik seperti vaksin, sera, hormon, obat hewan, dan bahan diagnostik lainnya seperti antigen, media pertumbuhan.
6. Alat angkut : berupa alat angkut udara, perairan, darat dan kemasan.
C. Persyaratan dan Prosedur Lain Lintas Hewan dan Produknya
1. Persyaratan dan Prosedur Impor
a. Berasal dari negara yang tidak dilarang pemasukannya
b. Dilengkapi surat Persetujuan Impor / pemasukan dari Dirjen Bina Produksi Peternaka
c. Surat keterangan Kesehatan Hewan ( Health Certificate) dari negara asal
d. Sertifikat halal untuk produk hewan yang akan dikonsumsi manusia
e. Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin) dari negara asal; Bill of loading dari bea cukai negara asal
f. Surat Ijin Pengeluaran (CITES) dari pemerintah negara asal (CITES Authority) untuk satwa liar
g. Melalui tempat- tempat yang ditetapkan
h. Dilaporkan 2 hari sebelum pemasukan dan diserahkan kepada petugas karantina di tempat pemasukan untuk keperluan tindakan karantina hewan
i. Untuk barang tentengan dilaporkan pada saat pemasukan
j. Keterangan mutasi muatan untuk hewan, bahan asal hewan dan hasil bahan asal hewan
k. Dilakukan tindak karantina hewan sesuai PP no 82 tahun 2000 yaitu
• Pemeriksaan dokumen oleh Balai Besar Karantina Hewan yang bersangkutan
• Dokter hewan karantina meberikan persetujuan untuk bongkar atau menolak pembongkaran
• Perintah masuk karantina
• Selama dalam karantina dilaksanakan pemeriksaan klinis dan laboratorium
• Setelah masa karantina berakhir (ternak = l4 hari, DOC = 21 hari, burung = 21 hari, hewan lainnya = l4 hari) maka diberikan sertifikat pembebasan oleh Balai Besar Karantina Hewan
2. Persyaratan dan Prosedur ekspor
a. Memenuhi persyaratan yang diminta oleh Negara penerima
b. Dilengkapi Surat Persetujuan Ekspor atau pengeluaran dari Dirjen Bina Produksi Peternakan
c. Surat Ijin Pengeluaran (CITES) dari Dirjen PHKA khusus satwa liar
d. Melalui tempat-tempat pengeluaran yang telah ditetapkan
e. Dilaporkan 2 hari sebelum pengeluaran dan diserahkan kepada petugas karantina di tempat pengeluaran untuk keperluan tindakan karantina hewan
f. Untuk barang tentengan dilaporkan pada saat pengeluaran
g. Dilakukan Tindak Karantina Hewan sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2000, yaitu :
• Dokter Hewan Karantina melakukan pemeriksaan fisik di perusahaan sebelum dilakukan pengemasan
• Pemberian sertifikat kesehatan oleh Balai Besar Karantina Hewan
3. Persyaratan dan prosedur pengeluaran domestik
a. Berasal dari daerah yang sedang tidak terjangkit penyakit hewan karantina berdasarkan rekomendasi dari dinas peternakan setempat
b. Surat ljin pemasukan dari daerah penerima jika dipersyaratkan
c. Dilakukan tindak karantina hewan sesuai PP No.82 tahun 2000
4. Persyaratan dan prosedur pemasukan domestik
a. Berasal dari daerah yang sedang tidak terjangkit penyakit hewan karantina
b. Dilengkapi sertifikat kesehatan dari karantina hewan daerah asal
c. Dilakukan tindak karantina hewan sesuai PP No. 82 tahun 2000,Apabila dokumen tidak lengkap, maka dilakukan penahaan selama 7hari untuk memberikan kesempatan pemilik untuk melengkapi dokumen yang diperlukan. Jika selama kurun waktu yang diberikan tidak dapat melengkapi maka barang akan disita atau dimusnahkan dengan dibuat berita acaranya.
5. Persyaratan transit
Transit biasanya dilakukan untuk keperluan perbaikan karena adanya kerusakan, kehabisan bahan baker atau karena incidental cases, persyaratannya sebagai berikut : Persetujuan transit pada tempat-tempat yang telah ditetapkan dengan Keputusan Menteri Dilengkapi sertifikat kesehatan hewan dan harus berada di bawah pengawasan dokter hewan karantina selama transit.
D. Sertifikat Karantina Hewan
Setiap komoditi yang masuk dan keluar domestik, ekspor dan impor mempunyai sertifikat tersendiri, yaitu :
1. KH-1 (Surat Permohonan Pemeriksaan Karantina)
Formulir untuk permohonan pemeriksaan karantina terhadap media pembawa penyakit hewan yang akan dilalulintaskan (ekspor, impor dan/ antar area)
2. KH-2 (Surat Penugasan)
Pimpinan Puncak atau Wakil Manajemen mengeluarkan surat penugasan kepada medik veteriner dan paramedik veteriner untuk memeberikan pelayanan tindakan karantina sesuai ketentuan yang dipersyaratkan terhadap komoditi karantina sebagaimana yang diajukan dalam KH-1.
3. KH-3 (Surat Keterangan Muatan Hewan/Produknya)
Surat keterangan yang dinyatakan oleh penanggung jawab alat angkut dan menerangkan :
a. ada/tidaknya perubahan jumlah/volume peruntukan hewan/produk hewan diatas alat angkut (dipelihara, transit, dibongkar sebagian/ seluruhnya), serta
b. ada/tidaknya berjangkit penyakit hewan menular selama dalam perjalanan diatas alat angkut.
4. KH-4 (Surat Keterangan Penolakan Bongkar)
Surat Keterangan yang dikeluarkan oleh Medik Veteriner karena ;
a. setelah melakukan pemeriksaan diatas alat angkut ternyata ditemukan adanya penyakit hewan menular utama (Penyakit Golongan I), atau
b. berasal dari negara yang dilarang pemasukannya ke dalam wilayah negara RI.
5. KH-5 (Surat Persetujuan Bongkar)
Surat Keterangan yang dikeluarkan oleh Medik Veteriner karena :
a. diatas alat angkut tidak ditemukan adanya penyakit hewan menular utama (Penyakit Golongan I), dan
b. berasal dari negara yang tidak dilarang pemasukannya.
6. KH-6 (Surat Pesetujuan Muat)
Surat Pesetujuan Muat dikeluarkan oleh medik veteriner karena hewan/produk hewan di instalasi karantina hewan ditemukan sehat/memenuhi persyaratan sanitasi yang ditentukan oleh negara/daerah tujuan.
7. KH-7 (Surat Perintah Masuk Karantina)
Surat Perintah yang dikeluarkan oleh Medik Veteriner untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut setelah melakukan pemeriksaan dokumen dan kesehatan/sanitasi (fisik/klinis) di atas alat angkut atau pelabuhan/ tempat pemasukan.
8. KH-8a (Berita Acara Penahanan)
Berta Acara yang dikeluarkan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Pimpinan Puncak setelah dilakukan pemeriksaan ternyata :
a. dokumen persyaratan karantina tidak lengkap/belum seluruhnya dipenuhi dan diduga tidak berpotensi membawa dan menyebarkan penyakit hewan.
b. tidak dilengkapi dokumen persyaratan tambahan lainnya.
9. KH-8b (Berita Acara Penolakan)
Berita Acara yang dikeluarkan oleh oleh pejabat yang ditunjuk oleh Pimpinan Puncak setelah dilakukan pemeriksaan :
a. hewan/produk hewan tertular penyakit hewan karantina golongan I, busuk, rusak atau jenis - jenis yang dilarang pemasukkannya.
b. tidak memenuhi persyaratan karantina dalam batas waktu tertentu.
c. setelah diberi perlakuan tidak dapat disembuhkan
10. KH-8c (Berita Acara Pemusnahan)
Berita Acara dikeluarkan oleh oleh pejabat yang ditunjuk oleh Pimpinan Puncak setelah dilakukan pemeriksaan ditemukan:
a. tertular penyakit hewan karantina golongan I, busuk, rusak atau jenis-jenis yang dilarang pemasukannya
b. tidak segera dibawa keluar area/wilayah pemasukan setelah dilakukan penolakan.
c. tertular golongan II dan tidak dapat disembuhkan.

11. KH-12 (Sertifikat Pelepasan Karantina)
Sertifikat Pelepasan yang diterbitkan oleh medik veteriner untuk media pembawa yang diimpor/dimasukan setelah semua persyaratan dipenuhi dengan memperhatikan hewan/produk hewan setelah :
a. dilakukan pemeriksaan, pengamatan dan pengasingan ternyata tidak tertular penyakit hewan karantina , dan atau
b. diberi perlakuan ternyata dapat disembuhkan, dan atau
c. dilakukan penahanan seluruh persyaratan telah dapat dipenuhi , serta
d. memenuhi kewajiban jasa tindakan karantina hewan.














BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa :
1. Tindakan karantina hewan bertujuan untuk melindungi hewan dari penyakit karantina hewan meliput Pemeriksaan Pengasingan, Pengamatan. Perlakuan , Penahanan, Penolakan, Pemusnahandan Pembebasan
2. Undang-undang Nomor 82 Tahun 2000 merupakan perbaikan dari undang-undang nomor 16 tahun 1992.
3. Undang-undang Nomor 82 Tahun 2000 lebih spesifik mengatur tentang karantina hewa sedangkan Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 Mengatur tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan.
4. Karantina hewan adalah tempat pengasingan dari atau tindakan sebagai upaya pencegahan masuk dan tersebarnya hama dan penyakit hewan karantina dari luar negeri dan dari suatu area ke area lain di dalam negeri atau keluarnya dari dalam wilayah Negara Republik Indonesia.
5. Tindakan Karantina Hewan yang dijelaskan pada Bab III dalam Undang-undang Nomor82 Tahun 2000 dari pasal 8-71











DARTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. http://karantinahewanpontianak.blogspot.com/2008/03/pp-no-82-tahun-2000-tentang-karantina_04.html. di akses pada 27 agustus 2011.
Animal Welfare Regulation (CFR Title 9, Chapter 1, Part 3, Subpart D). United State Department of Agriculture. Revisi 1 Januari 2005.
Guide for the Care and Use of Laboratory Animals. National Research Council. National Academy Press. 1996
Balai karantina peranian, 2009.prosedur impor. Ssurabaya.
Pudjiatmoko, 2009. Persyaratan dan Prosedur Karantina Hewan Republik Indonesia. Badan Karantina Pertanian, Departemen Pertanian RI. 2009

1 komentar: