Jumat, 17 Desember 2010

Pedoman Untuk Memperoleh Sertifikasi Halal

1. PENDAHULUAN

Pada prinsipnya semua bahan makanan dan minuman adalah halal, kecuali yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Bahan yang diharamkan Allah adalah bangkai, darah, babi dan hewan yang disembelih dengan nama selain Allah (QS. Al-Baqarah : 173). Sedangkan minuman yang diharamkan Allah adalah semua bentuk khamar (minuman beralkohol) (QS. Al-Baqarah : 219). Hewan yang dihalalkan akan berubah statusnya menjadi haram apabila mati karena tercekik, terbentur, jatuh ditanduk, diterkam binatang buas dan yang disembelih untuk berhala (QS. Al-Maidah : 3). Jika hewan-hewan ini sempat disembelih dengan menyebut nama Allah sebelum mati, maka akan tetap halal kecuali diperuntukkan bagi berhala.

Bahan-bahan yang termasuk ke dalam kategori halal seperti diuraikan di atas dan dipersiapkan serta diolah menurut ketentuan halal menurut syari’at Islam produknya dapat diajukan untuk mendapat Sertifikat Halal MUI.

II. TUJUAN

Tujuan pelaksanaan Sertifikat Halal pada produk pangan, obat-obat dan kosmetika adalah untuk memberikan kepastian kehalalan suatu produk, sehingga dapat menentramkan batin yang mengkonsumsinya.

III. SERTIFIKAT HALAL

1. Sertifikat Halal adalah fatwa tertulis MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syari’at Islam. Sertifikat Halal ini merupakan syarat untuk mencantum label halal.

2. Yang dimaksud dengan produk halal adalah produk yang memenuhi syarat kehalalan sesuai dengan syari’at Islam yaitu : a. Tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi. b. Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti : bahan-bahan yang berasal dari organ manusia, darah, kotoran-kotoran dan lain sebagainya. c. Semua bahan yang berasal dari hewan halal yang disembelih menurut tata cara syari’at Islam. d. Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, pengolahan, tempat pengelolaan dan transportasinya tidak boleh digunakan untuk babi. Jika pernah digunakan untuk babi atau barang yang tidak halal lainnya terlebih dahulu harus dibersihkan dengan tata cara yang diatur menurut syari’at Islam. e. Semua makanan dan minuman yang tidak mengandung khamar.

3. Pemegang Sertifikat Halal MUI bertanggung jawab untuk memelihara kehalalan produk yang diproduksinya, dan sertifikat ini tidak dapat dipindahtangankan.

4. Sertifikat yang sudah berakhir masa berlakunya, termasuk fotocopynya tidak boleh digunakan atau dipasang untuk maksud-maksud tertentu.

IV. JAMINAN HALAL DARI PRODUSEN

Sebelum produsen mengajukan Sertifikat Halal bagi produknya, maka terlebih dahulu disyaratkan yang bersangkutan menyiapkan hal-hal sebagai berikut :

1. Produsen menyiapkan suatu Sistem Jaminan Halal (Halal Assurance System).

2. Sistem Jaminan Halal tersebut harus didokumentasikan secara jelas dan rinci serta merupakan bagian dari kebijakan manajemen perusahaan.

3. Dalam pelaksanaannya, Sistem Jaminan Halal ini diuraikan dalam bentuk panduan halal (Halal Manual). Tujuan membuat panduan halal adalah untuk memberikan uraian sistem manajemen halal yang dijalankan produsen. Selain itu, panduan halal ini dapat berfungsi sebagai rujukan tetap dalam melaksanakan dan memelihara kehalalan produk tersebut.

4. Produsen menyiapkan prosedur baku pelaksanaan (Standard Operating Prosedure) untuk mengawasi setiap proses yang kritis agar kehalalan produknya dapat terjamin.

5. Baik panduan halal maupun prosedur baku pelaksanaan yang disiapkan harus disosialisasikan dan diuji coba di lingkungan produsen, sehingga seluruh jajaran ; dari mulai direksi sampai karyawan memahami betul bagaimana memproduksi produk halal dan baik.

6. Produsen melakukan pemeriksaan intern (audit internal) serta mengevaluasi apakah Sistem jaminan Halal yang menjamin kehalalan produk ini dilakukan sebagaiman mestinya.

7. Untuk melaksanakan butir 6, perusahaan harus mengangkat minimum seorang Auditor Halal Internal yang beragama Islam dan berasal dari bagian yang terkait dengan produksi halal.

V. PROSES SERTIFIKASI HALAL

1. Setiap produsen yang mengajukan Sertifikat Halal bagi produknya, harus mengisi formulir yang telah disediakan dengan melampirkan : a. Spesifikasi dan Sertifikat Halal bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong serta bagan alir proses. b. Sertifikat Halal atau Surat Keterangan Halal dari MUI Daerah (produk lokal) atau Sertifikat Halal dari Lembaga Islam yang telah diakui oleh MUI (produk impor) untuk bahan yang berasal dari hewan dan turunannya. c. Sistem Jaminan Halal yang diuraikan dalam panduan halal beserta prosedur baku pelaksanaannya.

2. Tim Auditor LP POM MUI melakukan pemeriksaan/audit ke lokasi produsen setelah formulir beserta lampiran-lampirannya dikembalikan ke LP POM MUI dan diperiksa kelengkapannya.

3. Hasil pemeriksaan/audit dan hasil laboratorium dievaluasi dalam Rapat Tenaga Ahli LP POM MUI. Jika telah memenuhi persyaratan, maka dibuat laporan hasil audit untuk diajukan kepada Sidang Komisi Fatwa MUI untuk diputuskan status kehalalannya.

4. Sidang Komisi Fatwa MUI dapat menolak laporan hasil audit jika dianggap belum memenuhi semua persyaratan yang telah ditentukan.

5. Sertifikat Halal dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia setalah ditetapkanstatus kehalalannya oleh Komisi Fatwa MUI.

6. Perusahaan yang produknya telah mendapat Sertifikat Halal, harus mengangkat Auditor Halal Internal sebagai bagian dari Sistem Jaminan Halal. Jika kemudian ada prubahan dalam penggunaan bahan baku, bahan tambahan atau bahan penolong pada prose produksinya, Auditor Halal Internal diwajibkan segera melaporkan untuk mendapat “ketikberatan penggunaannya”. Bila ada perubahaan yang terkait dengan produk halal harus dikonsultasikan dengan LP POM MUI oleh Auditor Halal Internal.

VI. TATA CARA PEMERIKSAAN (AUDIT) DI LOKASI PRODUSEN (PERUSAHAAN)

1. Surat resmi akan dikirim oleh LP POM MUI ke perusahaan yang akan diperiksa, yang memuat jadwal audit pemeriksaan dan persyaratan administrai lainnya.

2. LP POM MUI menerbitkan surat perintah pemeriksaan yang berisi : a. Nama ketua tim dan anggota tim. b. Penetapan hari dan tanggal pemeriksaan.

3. Pada waktu yang telah ditentukan Tim Auditor yang telah dilengkapi dengan surat tugas dan identitas diri, akan mengadakan pemeriksaan (auditing) ke perusahaan yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal. Selama pemeriksaan berlangsung, produsen diminta bantunanya untuk memberikan informasi yang jujur dan jelas

4. Pemeriksaan (audit) produk halal mencakup : a. Manajemen produsen dalam menjamin kehalalan produk. b. Observasi lapangan. c. Pengambilan contoh hanya untuk bahan yang dicurigai mengandung babi atau turunannya, yang mengandung alcohol dan yang dianggap perlu.

VII. MASA BERLAKU SERTIFIKAT HALAL

1. Sertifikat Halal hanya berlaku selama dua tahun, untuk daging yang diekspor Surat Keterangan Halal diberikan untuk setiap pengapalan.

2. Tiga bulan sebelum berakhir masa berlakunya sertifikat, LP POM MUI akan mengirimkan surat pemberitahuan kepada produsen yang bersangkutan.

3. Dua bulan sebelum berakhir masa berlakunya sertifikat, produsen harus dafatar kembali untuk Sertifikat Halal yang baru.

4. Produsen yang tidak memperbaharui Sertifikat Halalnya, tidak diizinkan lagi menggunakan Sertifikat Halal tersebut dan dihapus dari daftar yang terdapat dalam majalah resmi LP POM MUI, Jurnal Halal.

5. Jika Sertifikat Halal hilang, pemegang harus segera melaporkannya ke LP POM MUI.

6. Sertifikat Halal yang dikeluarkan oleh MUI adalah milik MUI. Oleh sebab itu, jika karena sesuatu hal diminta kembali oleh MUI, maka pemegang sertifikat wajib menyerahkannya.

7. Keputusan MUI yang didasarkan atas fatwa MUI tidak dapat diganggu gugat.

VIII. SISTEM PENGAWASAN

1. Perusahaan wajib menandatangani perjanjian untuk menerima Tim Sidak LP POM MUI.

2. Perusahaan berkewajiban menyerahkan laporan audit internal setiap 6 (enam) bulan setelah terbitnya Sertifikat Halal.

IX. PROSEDUR PERPANJANGAN SERTIFIKAT HALAL

Prosedur Perpanjangan Sertifikat Halal : a. Produsen yang bermaksud memperpanjang sertifikat yang dipegangnya harus mengisi formulir pendaftaran yang telah tersedia. b. Pengisian formulir disesuaikan dengan perkembangan terakhir produk. c. Perubahan bahan baku, bahan tambahan dan penolong, serta jenis pengelompokkan produk harus diinformasikan kepada LP POM MUI. d. Produsen berkewajiban melengkapi dokumen terbaru tentang spesifikasi, sertifikat halal dan bagan alir proses.

X. LAIN – LAIN

1. Sertifikat Halal MUI bagi pengembangan produk : a. Pengembangan produk yang dilakukan oleh produsen pemegang Sertifikat Halal MUI harus dilaporkan kepada LP POM MUI. b. Jika produk yang dikembangkan berbeda jenisnya dengan kelompok produk yang sudah bersertifikat halal MUI, produk tersebut didaftarkan sebagai produk baru dan diproses mengikuti prosedur Sertifikat Halal yang berlaku. c. Produk yang sejenis dengan kelompok produk yang sudah mendapat Sertifikat Halal MUI, di informasikan kepada LP POM MUI. Informasi tersebut berisi data tambahan dan nama produk dan dilengkapi dengan spesifikasi dan bukti pembelian bahan. Data tersebut akan dipelajari oleh LP POM MUI untuk ditentukan tahapan proses selanjutnya. d. Pendaftaran penambahan produk dengan jenis produk yang sama dengan produk yang telah mendapat sertifikat halal dan pernah diaudit sebelumnya tidak perlu melalui pengisian formulir baru. Pendafataran di lakukan dengan cara mengajukan surat kepada Direktur LP POM disertai lampiran daftar ingredient dan alur prosesnya. Bila dianggap perlu audit di lakukan untuk memeriksa kesesuaian informasi dalam surat dengan kondisi di lapangan. e. Hasil auditing di laporkan dalam rapat auditor. Jika tidak ditemukan masalah maka dibawa ke Rapat Komisi Fatwa dan apabila tidak ada masalah maka Direktur akan mengeluarkan surat rekomendasi yang menyatakan bahwa produk tersebut dapat diproduksi karena menggunakan bahan-bahan yang pernah digunakan dari produk yang telah difatwakan sebelumnya.

2. Produk Kemas Ulang (Repacking Product) Produk kemas ulang (repacking product) atau produk distributor di audit ke tempat produksi (negara asal).

3. Produk Flavour Khusus untuk produk flavour jika proses local hanya berupa proses sederhana, dimana “base”nya di buat di pabrik lain di luar negeri, maka audit harus di lakukan di tempat produksi “base” tersebut. Perlu tidaknya audit dilakukan untuk penambahan produk baru di tentukan kasus per kasus.

4. Prosedur Pemusnahan Bahan Jika di temukan produk atau bahan yang harus di musnahkan karena ketidak-halalannya maka pemusnahan harus di saksikan oleh auditor disertai bukti berita acara pemusnahannya. Penentuan tentang pemusnahan di lakukan oleh Rapat Auditor atau Rapat Tenaga Ahli.

5. Audit Produk Beragam · Jika produk yang diaudit banyak dan beragam, maka tidak setiap produk harus diproduksi pada saat diaudit, cukup diwakili tiap kelompok produknya. Akan tetapi Auditor harus memeriksa formula tidak hanya pada database tapi juga di ruang produksi. · Bila pada saat audit dilakukan perusahaan belum dapat melaksanakan proses produksi sesungguhnya, maka dapat diaudit dalam proses skala laboratorium. Namun pada waktu produksi Auditor akan melihat kembali kesesuaian proses produksi sesungguhnya dengan proses produksi skala laboratorium yang pernah dilihatnya.

6. Pembuatan Matriks Bahan Setiap perusahaan yang diaudit akan diminta untuk membuat matriks bahan terakhir yang telah disetujui untuk diajukan ke Rapat Komisi Fatwa. Jika tidak ada permasalahan dalam Rapat Komisi Fatwa, maka matriks ini akan disetujui oleh Direktur setelah diperiksa oleh Auditor. Matriks tersebut akan dimasukkan kedalam database dan menjadi pegangan dalam pelaksanaan sidak. LPPOM MUI (Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika) [halalmui.or.id]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar